Sabtu, 21 Juni 2008

Tuhan, Ijinkan Aku Menjadi Pelacur

Tuhan, Ijinkan Aku Menjadi Pelacur! (Memoar Luka Seorang Muslimah)
Tuhan, Ijikan aku menjadi pelacur!

”Biarlah Aku hidup dalam gemilang api dosa, sebab terkadang melalui dosa yang dihikmati, seorang manusia bisa belajar dewasa,”

Kubisikkan kepada hatiku satu-satunya :
”Hati, kuingin kau seluas kehidupan ini, sekelam jurang dan secercah matahari. Bersamamu kan kulanjutkan tragedi sang Iblis dengan sekeping hati Khidir. Bersamamu kan kutelusuri lorong terkelam, kan kuselami semua benteng-benteng larangan pada ranah keterasingan,”

”Oh Tuhan, izinkan aku mencintai-Mu dengan cara yang lain, menerima kehidupan dengan sepenuh kejujuran. Seperti gemericik air di pematang sawah, seperti cicit cericit burung yang bercendai diselimuti induknya karena alam telah mengajariku untuk menerima setiap lembaran kasih-Mu bersama sebuah permohonan. Sayangi aku dalam pekat anugerah-Mu. Aku tak punya apa-apa selain hati yang kan selalu menunggu sapa-Mu. Sapa yang gelap-kutukan-di kala aku terjaga dari tidurku, di kala sang waktu menyapa rambutku yang perlahan ditumbuhi uban ketuaan hingga aku terlelap dalam penyerahan sempurna, dalam pelukan bumi,”



Dia seorang muslimah yang taat, tubuhnya dihijabi oleh jubah dan jilbab besar. Hampir semua waktunya dihabiskan untuk shalat, baca Al-Quran, dan berzikir. Dia memilih hidup yang sufistik yang demi ghirah kezuhudannya kerap dia hanya mengonsumsi roti ala kadarnya di sebuah pesantren mahasiswa. Cita-citanya hanya satu : untuk menjadi muslimah yang beragama secara kaffah.

Tapi di tengah jalan ia diterpa badai kekecewaan. Organisasi garis keras yang mencita-citakan tegaknya syariat Islam di Indonesia yang diidealkannya bisa mengantarkannya ber-Islam secara kaffah, ternyata malah merampas nalar kritis sekaligus imannya. Setiap tanya yang ia ajukan dijawab dengan dogma yang tertutup. Berkali-kali digugatnya kondisi itu, tapi hanya kehampaan yang hadir. Bahkan Tuhan yang selama ini ia agung-agungkan seperti ”lari dari tanggung jawab” dan ”emoh” menjawab keluhannya.

Dalam keadaan kosong itulah ia terjerembab dalam dunia hitam. Ia lampiaskan frustasinya dengan free sex dan mengonsumsi obat-obat terlarang. ”Aku hanya ingin Tuhan melihatku. Lihat aku Tuhan, kan kutuntaskan pemberontakanku pada-Mu!” katanya setiap kali usai bercinta yang dilakukannya tanpa ada secuil pun raut sesal. Dari petualangan seksnya itu tersingkap topeng-topeng kemunafikan dari para aktifis yang meniduri dan ditidurinya-baik aktifis sayap kiri maupun aktifis sayap kanan-yang selama ini lantang meneriakkan tegaknya moralitas. Bahkan, terkuak pula sisi gelap seorang dosen Kampus Matahari Terbit Yogyakarta yang bersedia menjadi germonya dalam dunia remang pelacuran yang ternyata anggota DPRD dari fraksi yang selama ini bersikukuh memperjuangkan syariat Islam di Indonesia.

Itulah sinopsis dari novel ini. Novel ini memang sudah lama terbit. Tapi aku baru membacanya satu minggu yang lalu. Secara nggak sengaja aku melihat novel ini di toko buku Gramedia. Judul dan sinopsis novel ini yang membuatku penasaran untuk membeli.

Setelah membaca keseluruhan, aku memaklumi mengapa novel ini begitu menuai pro dan kontra. Novel ini memang dianggap menyesatkan, tetapi bagiku pribadi, novel ini mengingatkan kita pada Kekuatan Iman, Kekuatan Cinta, yang seharusnya terjaga dalam hati, tak boleh tergoyah oleh cobaan hidup.

Tokoh Nidah Kirani yang dikisahkan dalam novel ini, adalah gambaran sosok manusia yang lemah imannya. Ia harus menemukan orang yang secara tepat dapat menjawab segala pertanyaannya tentang Tuhan, tentang Iman, tentang Cinta.

Nidah Kirani memilih menjadi pelacur karena ia tak tahan dengan kehidupan sufistiknya. Kehidupan yang tidak memberi kesempatan untuk menggugat, mendebat segala dogma. Ia harus mau menerima saja segala kewajiban Tuhan-nya, tanpa boleh bertanya untuk apa hal itu harus dilakukan. Pemberontakannya akan dogma ini, jusrtu yang mengantarkan ia pada sosok seorang lelaki yang hanya perduli pada seks. Lain tidak. Maka makin banyak kekecewaan yang dialaminya setelah ditinggalkan oleh lelaki ini. Ia menjadi semakin liar, mengonsumsi obat terlarang, berada di pelukan lelaki yang berbeda setiap hari, lalu berpuncak pada perkenalannnya dengan sang dosen yang bersedia menjadi germonya di dunia pelacuran eksklusif.

Untuk para pembaca yang mengganggap novel ini menyesatkan, mungkin mereka berpikir bahwa novel ini menjelek-jelekkan para aktifis Islam. Tapi bagiku, ini bukan sebuah ejekan, tapi sebuah kenyataan, bahwa tak ada manusia yang sempurna. Bahwa seorang agamis sekalipun dapat terjerumus dalam dunia hitam. Bahwa hitam-putih dunia ini adalah relatif, tak pernah mutlak. Manusia kapan saja dapat menjadi devil dan kapan saja bisa menjadi angel. Karena dua sisi itu ada pada diri manusia sejak ia terlahir. Hanya saja, manusia terkadang munafik, tak mau sisi hitamnya tampak, hanya sisi putih saja yang harus menonjol. Dan Tuhan, memberi kesempatan penuh bagi manusia untuk memilih menjadi apakah ia detik ini, esok, dan waktu yang akan datang. Tuhan demikian demokratis, memberikan dua pilihan dengan konsekuensi yang telah manusia ketahui.

Maka, jika kita berkata pada Tuhan : Ijinkan Aku Menjadi Pelacur!

Bagaimanapun Tuhan akan menginjinkan, hanya saja kita harus siap dengan konsekuensi pilihan menjadi pelacur tersebut. Semua sudah diatur oleh-Nya. Dan kita juga tak boleh munafik dengan menutupi aib. Jujurlah pada diri, pada hati, bahwa kita memang tak sebersih apa yang orang ketahui. Mungkin saja seorang pelacur masuk surga. Itu hak prerogatif Tuhan! Maka jangan pernah pula merendahkan orang lain, apapun dan siapapun dia! Tuhan tahu segala yang tak diketahui manusia.

Aku salut pada tokoh Nidah Kirani yang menjelang hari-hari kelamnya untuk terjun pada dunia pelacuran, ia masih melakukan refleksi di villa, seorang diri, merenungi segala yang telah terjadi dan memikirkan kembali keputusannya. Bahkan ia sempat berkomunikasi transendental dengan menyatakan :

”Oh Tuhan, izinkan aku mencintai-Mu dengan cara yang lain, menerima kehidupan dengan sepenuh kejujuran. Seperti gemericik air di pematang sawah, seperti cicit cericit burung yang bercendai diselimuti induknya karena alam telah mengajariku untuk menerima setiap lembaran kasih-Mu bersama sebuah permohonan. Sayangi aku dalam pekat anugerah-Mu. Aku tak punya apa-apa selain hati yanga kan selalu menunggu sapa-Mu. Sapa yang gelap-kutukan-di kala aku terjaga dari tidurku, di kala sang waktu menyapa rambutku yang perlahan ditumbuhi uban ketuaan hingga aku terlelap dalam penyerahan sempurna, dalam pelukan bumi,”

Segala keburukan maupun kebaikan yang akan kita lakukan pasti ada sebab, ada akibat. Maka berpikirlah!

(Dikutip dari pemberian seseorang yg tdk diketahui namanya)


Tidak ada komentar: